Kamis, 01 Desember 2011
Dan Anak-Anak Palestina pun Terkapar
Anak-anak kecil dan bayi adalah hal yang membuat dunia menjadi begitu bersih dan udara menjadi sejuk untuk dihirup. Mereka memberi arti pada sosok ibu di rumah dan membuat langkah ayah menjadi tegap menuju tempat kerja. Tangisan, tawa, teriakan, dan celotehan mereka adalah anugerah yang tak ada bandingannya.
Dalam waktu sebelas hari, Israel dengan telengas sudah mengubah fitrah anak-anak Palestina di Jalur Gaza. Anak-anak dan bayi kehilangan makna, dan dilanda ketakutan amat sangat—itu karena, satu persatu, dalam jangka waktu yang demikian cepat, mereka kehilangan ayah dan ibunya. Lebih memilukan lagi, mereka pun kehilangan nafasnya yang terakhir.
Dalam sejarah peperangan, Islam tak pernah menorehkan catatan jika ada orang tua, perempuan dan anak-anak tersakiti setiap kali tentara Islam maju ke pertempuran. Israel tak mengenal itu. Anak-anak Palestina tetap menjadi sasaran rudal dan peluru mereka…
Ia yang pergi adalah tabungan kelak di akhirat. Tapi Yahudi Israel adalah penjahat kakap di dunia yang tak punya hati dan rasa.
Sebelum kafan menutupimu, wajahmu adalah semangat bagi kami.
Luka di pelipisnya dan hidungnya yang robek akan hilang sakitnya. Tapi ingatan terhadap biadabnya Yahudi akan terus ada sepanjang masa.
Dalam usianya yang masih sangat belia, ia telah menyaksikan begitu banyak darah, luka, kematian dan kehilangan.
Bocah ini kehilangan sebelah muka dan satu telinganya.
Ia sendirian di antara gedung yang akan roboh, sementara dentuman bom menakutkannya. Tak ada ayah atau ibu…
Dengan apa kami ceritakan semua yang kini terjadi pada bumi Palestina? Satu yang pasti, ini semua karena Yahudi durjana.
Para bocah Gaza yang selamat mengiringi prosesi kematian seorang adik kecil temannya.
Di tengah dentuman bom, di antara mesiu dan roket, kami tetap tersenyum untuk tetap terus mengibarkan Palestina dan membela Islam. Kami tak akan pernah menyerah!
(wahdah-jakarta.com)
Kisah Perjuangan Hidup Anak-anak Palestina (2)
Sementara
itu Kesunyian yang lebih menyakitkan mendera para perempuan dan
laki-laki tua. Seolah-olah, semua kenangan seputar paman uthman
merongrong dalam diri setiap diri orang-orang itu ,semua cerita ringan
yang pernah dikisahkan oleh paman abu uthman pada kakum lelaki ramallah
ketika mereka datang dan dudukdikursi pangkas rambutnya. Setiap
kenangan tampaknya telah merasuk sedemikian rupa kedalamhati mereka ,
Sepanjang hidupnya paman abu uthman adalah seorang lelaki yang
lembut dan penuh kasih, ia mempercayai segala hal, tapi kebanyakan hal
lebih mempercayai dirinya sendiri. Ia membangun hidupnya dari nol,
ketika pemberontakan yang terjadi di jabal an nar membuatnya terdampar
di ramallah , ia kehilangan segalanya, iapun memulai lagi dengan awal
yang baru, serupa yang dilakukan oleh setiap tumbuhan yang hidup di
tanah ramallah yang budiman. Abu uthman memenangkan cinta dan restu
masyarakat. Ketika perang palestina yang terakhir dimulai, ia menjual
semua barang miliknya demi membeli sejumlah senjata, yang kemudian
dibagikan kepada kerabat agar mereka bisa bertampur dalam peperangan.
Tokonya berubah menjadi gudang bahan peledak dan gudang persenjataan.
Meskipun demikian ia tidak menerima bayaran atas pengorbanan tersebut,
satu-satunya yang ia minta adalah sebuah kuburan dikomplek pemakaman
ramallah yang indah dan dipeniuhi pepohonan besar. Cuma itu yang
dikehendakinya dari orang-orang.
Hal-hal yang sederhana inilah yang memicu
keheningan. Wajah orang-orang yang bercucuran keringat tampak muram
oleh kenangan-kenangan ini. Aku mendapati ibuku berdiri diantara
mereka sepasang lengannya masih terangkat ke udara. Ia berdiri tegak
seakan-akan hidupnyasudah berhenti dan kelam, tapi matanya tampak
tenang mengikuti arah paman abu uthman. Ibuku terus memandang ke arah
paman abu uthman yang tengah berdiri didepan seorang serdadu yahudi,
berbicara padanya sambil menunjuk kearah tokonya. Berikutnya paman abu
uthman tampak berjalan sendiri menuju tokonya. Sebentar kemudian, ia
kembali dengan membawa handuk putih, yang dipakainya untuk membungkus
jasad istrinya. Ia lalu berjalan kekuburan.
Ketika beberapa menit telah berlalu aku melihat paman abu uthman
muncul dari kejauhan dengan langkah berat lagi lambat. Punggungnya
makin bungkuk kedua lengannya menggantung tak berdaya di kedua sisi
tubuh. Ia bergerak pelan-pelan tidak jauh dariku, berjalan dan terlihat
lebih tua dari sebelumnya. Debu menyelimuti tubuhnya sementara
nafasnya terhela dengan berat. titik-titik darah bercampur debu
terlihat didadanya…. Ketika posisi paman abu uthman langsung
berseberangan denganku , tiba-tiba saja ia menatapku seolah untuk
pertama kalinya, ia berjalan melewatiku yang berdiri di tengah tengah
jalan di bawah matahari juli yang terik, berdebu basah kuyup oleh
keringat. Saat itu kulihat bibirnya terluka dan mengalirkan darah,
sambil bernafas terangah-engah ia terus menatapku. Banyak makna yang
tidak bisa kupahami terbaca dari matanya. Lalu ia meneruskan kembali
perjalanannya dalam diam , kkotor bernafas berat, setelah beberapa
langkah ia berhenti memalinhkan wajahnya kearah jalan,sebelum kemudian
mengangkat kedua lengan menyilangkannya.
Orang-orang tidak bisa memakamkan jasad paman abu uthman sesuai
kehendaknya. Karna waktu itu iapergi kekantor walikota untuk mengakui
apa yang telah ia ketahui, tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat
yang memusnahkan seluruh bangunan. Sisa-sisa tubuh abu uthman lenyap di
tengah-tengah reruntuhan.
Mereka bercerita pada ibuku, sewaktu ia membawaku menyeberangi perbukitan yordania bahwa ketika paman abu uthman pergi ke tokony sebelum menguburkan sang isteri, ia tidak hanya membawa satu handuk putih saja.
keheningan. Wajah orang-orang yang bercucuran keringat tampak muram
oleh kenangan-kenangan ini. Aku mendapati ibuku berdiri diantara
mereka sepasang lengannya masih terangkat ke udara. Ia berdiri tegak
seakan-akan hidupnyasudah berhenti dan kelam, tapi matanya tampak
tenang mengikuti arah paman abu uthman. Ibuku terus memandang ke arah
paman abu uthman yang tengah berdiri didepan seorang serdadu yahudi,
berbicara padanya sambil menunjuk kearah tokonya. Berikutnya paman abu
uthman tampak berjalan sendiri menuju tokonya. Sebentar kemudian, ia
kembali dengan membawa handuk putih, yang dipakainya untuk membungkus
jasad istrinya. Ia lalu berjalan kekuburan.
Ketika beberapa menit telah berlalu aku melihat paman abu uthman
muncul dari kejauhan dengan langkah berat lagi lambat. Punggungnya
makin bungkuk kedua lengannya menggantung tak berdaya di kedua sisi
tubuh. Ia bergerak pelan-pelan tidak jauh dariku, berjalan dan terlihat
lebih tua dari sebelumnya. Debu menyelimuti tubuhnya sementara
nafasnya terhela dengan berat. titik-titik darah bercampur debu
terlihat didadanya…. Ketika posisi paman abu uthman langsung
berseberangan denganku , tiba-tiba saja ia menatapku seolah untuk
pertama kalinya, ia berjalan melewatiku yang berdiri di tengah tengah
jalan di bawah matahari juli yang terik, berdebu basah kuyup oleh
keringat. Saat itu kulihat bibirnya terluka dan mengalirkan darah,
sambil bernafas terangah-engah ia terus menatapku. Banyak makna yang
tidak bisa kupahami terbaca dari matanya. Lalu ia meneruskan kembali
perjalanannya dalam diam , kkotor bernafas berat, setelah beberapa
langkah ia berhenti memalinhkan wajahnya kearah jalan,sebelum kemudian
mengangkat kedua lengan menyilangkannya.
Orang-orang tidak bisa memakamkan jasad paman abu uthman sesuai
kehendaknya. Karna waktu itu iapergi kekantor walikota untuk mengakui
apa yang telah ia ketahui, tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat
yang memusnahkan seluruh bangunan. Sisa-sisa tubuh abu uthman lenyap di
tengah-tengah reruntuhan.
Mereka bercerita pada ibuku, sewaktu ia membawaku menyeberangi perbukitan yordania bahwa ketika paman abu uthman pergi ke tokony sebelum menguburkan sang isteri, ia tidak hanya membawa satu handuk putih saja.
Langganan:
Postingan (Atom)